Sa’id bin ‘Amir: “Pemilik Kebesaran di Balik Kesederhanaan” - Remaja Muslim

Sa’id bin ‘Amir: “Pemilik Kebesaran di Balik Kesederhanaan”

Sa’id adalah salah satu deretan sahabat Rasulullah yang ditokohkan, meskipun namanya tidak seterkenal nama-nama lain. Ia teladan dalam ketakwaan yang tidak mau menonjolkan diri.



Sa’id memeluk Islam tidak lama sebelum pembebasan Khaibar. Sejak memeluk Islam dan berbai’at kepada Rasulullah SAW, seluruh kehidupannya, segala wujud dan cita-citanya dibaktikan kepada Islam dan Rasulullah. Ketaatan, kezuhudan, keshalihan, keluhuran, ketinggian dan semua sifat baik ada pada manusia suci dan baik ini.

Jika di tengah keramaian, tidak akan didapati sesuatu yang menarik dari dirinya. Beliau hanyalah seorang prajurit lusuh dengan rambut tidak terurus. Pakaian dan penampilannya tidak beda dengan orang-orang miskin lainnya. Namun, kebesaran laki-laki ini lebih sejati dibandingkan hanya berupa penampilan luar dan kemewahan. Ia jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya.

Singkat cerita, ketika Khalifah Umar bin Khaththab memecat Mu’awiyah dari jabatannya sebagai gubernur wilayah Syam, ia mencari-cari penggantinya.

Syam saat itu adalah wilayah yang sudah maju dan cukup luas, karena itu Syam menjadi pusat perdagangan yang penting dan tempat yang tepat untuk bersenang-senang. Syam wilayah penuh godaan. Oleh karena itu, yang cocok menjadi gubernur Syam adalah orang suci yang ditakuti oleh setan apa pun. Orang yang zuhud, ahli ibadah, taat pada agama dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.

Akhirnya pilihan Umar pun jatuh kepada Sa’id untuk menjadi gubernur Syam yang berpusat di Hims. Jabatan yang diberikan padanya tidak serta diterima oleh Sa’id begitu saja, tetapi justru ia menolak dan mengatakan,


“Jangan hadapkan aku dengan ujian berat, wahai Khalifah.”

Dengan nada keras Umar menjawab, “Demi Allah, kau tidak boleh menolak. Kalian sudah meletakkan amanah dan tanggungjawab pemerintah kepadaku, lalu setelah itu kalian meninggalkanku sendiri?”. Mendengar jawaban Khalifah, akhirnya Sa’id pun menerima amanah tersebut dan berangkatlah ia bersama istrinya ke Hims.

Saat itu, perilaku penduduknya Hims sering terjadi pembangkangan dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah. Ada kesamaan seperti di Kufah, maka Hims disebutlah sebagai Kufah kedua. Namun, terhadap kepemimpinan Sa’id – dengan izin Allah- mereka taat dan patuh. Meskipun demikian, adanya keluhan dari masyarakat tetap tidak bisa dihindari.

Suatu hari, Khalifah Umar berkunjung ke Hims, ia bertanya kepada penduduk Hims yang sedang berkumpul, “Bagaimana pendapat kalian tentang Sa’id?

Kemudian seorang laki-laki tampil bicara untuk mengemukakan keluhannya. “Kami mengeluhkan 4 perkara:

pertama , ia baru keluar menemui rakyatnya setelah hari sudah siang; kedua, ia tidak melayani seorang pun di malam hari; ketiga, setiap bulan ada dua hari di mana ia tidak melayani rakyatnya, dan kami tidak melihatnya sama sekali; dan ada satu lagi (keempat) yang sebetulnya bukan kesalahannya tapi mengganggu kami yaitu sewaktu-waktu ia jatuh pingsan.” Lalu laki-laki itu duduk.

Khalifah Umar menunduk sebentar dan mempersilahkan Sa’id membela dirinya. Ia berkata, “Mengenai keluhan mereka bahwa aku tidak keluar menemui mereka kecuali hari sudah siang, demi Allah, sebetulnya aku tidak ingin menyebutkannya. Kami tidak punya pembantu, maka akulah yang membuat roti; dari mengaduk tepung hingga roti itu siap dimakan. Setelah itu aku berwudhu, dan salat dhuha. Baru setelah itu, aku keluar menemui mereka.”

Wajah Umar berseri-seri, dan ia mengucapkan, “Alhamdulillah. Lalu yang kedua?”

Sa’id melanjutkan pembicaraannya, “Adapun keluhan kedua bahwa aku tidak melayani mereka di malam hari, maka demi Allah aku benci menyebutkan sebabnya. Aku telah menyediakan siang hari untuk mereka, sedangkan malam hari untuk Allah.”

“Mengenai keluhan ketiga bahwa dua hari setiap bulan aku tidak menemui mereka, sebabnya adalah aku tidak mempunyai pembantu yang mencucikan pakaianku, sedangkan pakaianku tidak banyak. Aku tidak bisa berganti pakaian dengan leluasa. Karena itu, aku mencucinya lalu menunggu sampai kering, hingga baru bisa keluar menemui mereka di sore hari.”

“Adapun tentang keluhan mereka bahwa aku sering jatuh pingsan, sebabnya adalah ketika di Mekah dulu, aku melihat langsung Khubaib bin al-Anshari tewas. Tubuhnya disayat-sayat oleh orang-orang kafir Quraisy. Saat itu, aku masih kafir. Aku menyaksikan dengan mata kepalaku dan aku tidak bergerak sedikit pun untuk menolong Khubaib. Karena itu, aku sangat takut akan siksa Allah kelak, hingga aku jatuh pingsan.”

Selesai sudah pembelaan Sa’id, kedua pipinya basah oleh air mata.

Khalifah Umar tidak bisa menahan rasa harunya. Ia berseru dengan gembira, “Alhamdulillah, firasatku tidak melesat.” Lalu ia merangkul Sa’id, dan mencium keningnya yang bercahaya.

Sebagai gubernur, tentu gaji yang diterimanya juga banyak. Akan tetapi, yang diambilnya hanyalah sekadar keperluan diri dan istrinya, selebihnya dibagikan kepada orang-orang miskin. Ia tetap dengan kesederhanaannya walaupun ia seorang pembesar di wilayahnya.

Pada tahun 20 Hijriah, Sa’id menghadap Tuhannya dengan lembaran yang paling bersih, dengan hati yang paling suci dan dengan kehidupan yang paling cemerlang.

Sungguh, ia sangat merindukan berkumpul kembali dengan Rasulullah; gurunya, rekan-rekannya. Semuanya berkumpul dengan membawa lembaran suci.

Hari ini, ia akan menemui mereka dengan hati tenang, jiwa yang tenteram dan beban yang ringan. Tiada sedikit pun kekayaan dunia yang membebani punggungnya.

Ia hanya membawa keshalihan, kezuhudan, ketakwaan dan akhlak mulia. Ia hanya membawa keutamaan-keutamaan yang memberatkan timbangan kebaikannya. Ia membawa keistimewaan yang menggoncangkan dunia, dan sama sekali tidak tertipu.

Salam sejahtera untuk Sa’id bin ‘Amir.

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments